PANGANDARAN JAWA BARAT - Menyikapi pemberitaan di beberapa media terkait dengan pengaduan oleh salah seorang keluarga pasien atas dugaan malpraktek yang terjadi RSUD Pandega Pangandaran, pihak RSUD Pandega Pangandaran akhirnya angkat bicara.
Pihak management RSUD Pandega Pangandaran menggunakan hak jawabnya, Hal tersebut berdasarkan sebagaimana yang telah tersurat dan tersirat pada Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang berbunyi sebagai berikut, ayat (2) Pers wajib melayani Hak Jawab; (3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Dengan demikian pers harus melayani Hak Jawab dan hak koreksi
disertai ancaman pidana denda Rp. 500 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal
18 Ayat (2) Undang-Undang tersebut.
“Kami RSUD Pandega Pangandaran, sebenarnya belum bisa memberikan banyak keterangan terkait hal tersebut, karena saat ini masih dalam proses hukum di Polres Pangandaran.
Tentunya sebagai bagian dari Masyarakat yang taat hukum, kami
menghargai proses yang sedang berjalan di Kepolisian”, ujar Direktur RSUD Pandega Pangandaran Hj. Titi Sutiamah yang akrab dengan panggilan Titi.
“Namun demikian kami percaya dan yakin sepenuhnya bahwa Dokter kami memiliki kopetensi dan pengalaman, serta sudah bekerja sesuai dengan etika profesi, keilmuan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan diagnosa dan pemberian tindakan terhadap pasien.
Dokter kami senantiasa selalu memberikan penjelasan kondisi perkembangan penyakit kepada sang pasien, serta senantiasa meminta persetujuan tindakan dari pasien maupun keluarga pasien”, tambah Titi.
Di tempat terpisah Kuasa Hukum RSUD Pandega Pangandaran, Fredy Kristianto SH salah seorang
Advokat/Pengacara/Penasehat Hukum putra daerah Pangandaran, yang berkontor pada Kantor Hukum Fredy & Partners, berpendapat bahwa hal ihwal permasalahan yang sedang dihadapi oleh RSUD Pandega
Pangandaran yang saat ini sedang berproses di kepolisian masih dalam tahapan pendalaman permasalahan, dalam bentuk undangan klarifikasi pemberian keterangan terhadap para pihak atau para saksi, yang kebetulan selalu saya
damping secara langsung.
Selanjutnya Fredy berpendapat, bahwa sangkaan yang dituduhkan itu haya asumsi dan opini semata, menurut saya setiap persoalan harus didudukan dalam sudut
pandang secara objektif.
Terkait dengan unsur-unsur pasal yang disangkakan terhadap klien kami, itu akan sangat sulit untuk dibuktikan karena hal ini menurut keterangan klien kami, klien kami sudah memenuhi standar pelayanan medik, Standar Operasional Prosedur (SOP), sudah memenuhi kemampuan kedokteran pada umumnya, klien kami juga tidak pernah keluar dari kode etik kedokteran (KODEKI), serta klien kami memiliki kompetensi dibidangnya, hal tersebut sudah berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan/atau jika dipandang perlu kami akan menghadirkan ahli hukum kedokteran dari Perguruan Tinggi terkemuka, untuk memberikan pendapatnya dalam persoalan tersebut.
“Selain itu, hubungan dokter dan pasien bukan hubungan yang memuat kewajiban hukum dokter yang ditujukan pada hasil (resultaat) pelayanan medis, melainkan kewajiban untuk perlakuan medis dengan sebaik-baiknya dan secara maksimal, tidak salah langkah atau salah prosedur (berdasarkan Standar Profesi dan Standar
Prosedur)”, sambungnya.
“Dalam hal ini juga Fredy mengingatkan kepada para pihak agar hendaknya bersabar dan menahan diri, serta menghormati proses hukum yang sedang berjalan, jangan saling menghakimi yang nantinya berakibat menimbulkan persoalan baru seperti halnya fitnah dan pencemaran nama baik terhadap seseorang atau badan hukum sebagai subjek hukum. Karena setiap subjek hukum memliki hak yang melekat yaitu adanya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip Due Process of Law.
Saya yakin dan percaya bahwa Pihak Kepolisian bekerja secara professional dan presisi, yang berpedoman pada Hukum Acara yaitu Peraturan Kapolri (PERKAP) dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).” Tegasnya. (Anton AS)